BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Tat Twam Asi
Tat Twam Asi berasal dari ajaran agama Hindu di India. Artinya : “aku adalah engkau, engkau adalah aku”. Filosofi yang termuat dari ajaran ini adalah bagaimana kita bisa
berempati, merasakan apa yang tengah dirasakan oleh orang yang di dekat kita.
Ketika kita menyakiti orang lain, maka diri kita pun tersakiti. Ketika kita mencela
orang lain, maka kita pun tercela. Maka dari itu, bagaimana menghayati perasaan
orang lain, bagaimana mereka berespon akibat dari tingkah laku kita,
demikianlah hendaknya ajaran ini menjadi dasar dalam bertingkah laku.
Di
dalam bahasa Sansekerta, kata ”tat” berasal dari suku kata ”tad” yang berarti
”itu” atau ”dia”. Kata ”tvam’ berasal dari suku kata ”yusmad” yang berarti ”kamu” dan ”asi”
berasal dari urat kata ” as(a) ” yang berarti ”adalah”. Jadi secara sederhana
kata ”Tat
Twam Asi” bisa diartikan ” kamu adalah dia” atau
”dia adalah kamu”. Di dalam Katha Upanisad dinyatakan.
“nityo
nityanam cetanas cetananam
eko bahunam yo vidadhati kaman
tam pitha-gam ye 'nupasyanti dhiras
tesam santih sasvati netaresam”
Artinya:
“Diantara kepribadian
yang kekal dan yang berkesadaran, ada satu kepribadian yang menyediakan
keperluan dari kepribadian-kepribadian yang lainnya. Orang bijaksana yang
memuja kepribadian yang satu ini, yang bertempat tinggal di alamNya yang rohani
akan mampu mencapai kedamaian sejati sedangkan yang lain, yang tidak memujaNya
tidak akan mencapai kedamaian”.
Dari
sloka ini dapat kita
simpulkan bahwa tat tvam
asi berarti ”kamu (semua makhluk hidup) dan dia (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) adalah sama”. Kata
”sama” di sini hendaknya tidak disalahartikan. Ini tidak berarti bahwa kita
sepenuhnya sama dengan Tuhan, namun kita mempunyai sifat yang sama dengan Tuhan
dalam jumlah yang kecil. Di dalam Srimad Bhagavad Gita, kepribadian Ida Sang Hyang Widhi Wasa
bersabda:
“mamaivamso jiva-loke
jiva-bhutah sanatanah
manah-sasthanindriyani
prakrti-sthani karsati”
Artinya:
“Para
makhluk hidup di dunia material ini merupakan percikan terkecil dari diriku
yang kekal. Disebabkan oleh keterikatan hidup, mereka berjuang keras untuk
menghadapi 6 indria termasuk pikiran”.
Kata
”mama eva amsah” yang berarti percikan terkecil-Ku, mempunyai makna yang sangat penting.
Seperti contoh, air yang diambil dari lautan dan dimasukan ke dalam gelas
mempunyai sifat yang sama dengan seluruh air laut. Namun air yang di dalam
gelas tidak akan mampu menghanyutkan desa, sedangkan ketika bencana sunami, air
yang bersifat sama yang berada di lautan mampu menghancurkan berbagai tempat di
berbagai negara. Meskipun air yang di dalam gelas sama dengan air laut, yaitu
mempunyai rasa yang sama dan juga molekul yang sama, tetapi perbedaannya adalah
jumlah dan kekuatan. Sama halnya, makhluk hidup yang merupakan percikan
terkecil dari kepribadian Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, Sri Visnu, maka mereka mempunyai sifat
yang sama dengan Tuhan yaitu sat, cid dan ananda (kekal, penuh pengetahuan dan
penuh kebahagiaan). Semua sifat ini dimiliki oleh para makhluk hidup dalam
jumlah yang terbatas, sedangkan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa
memiliki sifat tersebut dalam jumlah yang tidak terbatas. Perbedaan lainnya
adalah sifat murni yang dimiliki oleh makhluk hidup sangat mudah diselubungi
oleh khayalan sedangkan sifat
Ida Sang Hyang Widhi Wasa
tidak pernah terselubungi. Dengan demikian, meskipun makhluk hidup penuh
kebahagiaan, namun karena diselubungi oleh khayalan, makhluk hidup di dunia
material ini berjuang keras untuk mencapai kebahagiaan dengan berbagai cara. Jadi
ini adalah salah satu pengertian dari kata “Tat
Twam Asi”, yang secara sederhana bisa diringkas
sebagai berikut ”kamu para makhluk hidup mempunyai sifat yang sama dengan Dia
(Tuhan). Karena makhluk hidup mempunyai kesamaan dengan Tuhan, maka dengan
menginsyafi dirinya melalui proses Yoga, seseorang akan mendapat contoh dan
pengertian tentang Tuhan. Seperti halnya dengan mengerti unsur yang menyusun
setetes air laut, kita sudah bisa dianggap mengerti seluruh air di lautan
tetapi di dalam jumlah yang berbeda. Dengan mempelajari setetes air laut kita
akan bisa membayangkan unsur yang sama yang ada di dalam lautan, namun memiliki
kekuatan dan jumlah yang jauh lebih besar.
Uraian
di atas merupakan pengertian pertama yang bisa diambil dari arti kata “Tat Twam Asi”. Untuk mengerti
sedikit lebih lanjut tentang pengertian kata ini, kita akan mengacu kepada
sebuah komentar dari seorang acarya (guru besar) pengajar Veda yang telah
memperjuangkan dan mempertahankan Veda. Beliau mengajarkan Veda ke seluruh
pelosok India pada jaman perkembangan paham kekosongan dari filsafat Budha di
daerah India. Beliau adalah Sripad Ramanujacarya, seorang acarya yang hidup
sekitar sembilan ratus tahun yang lalu. Berdasarkan Sripad Ramanujacarya, kata
”Tat Twam Asi” dapat diartikan
sebagai berikut: ”Tasya
Tvam Asi”. Tasya berarti
milik dia, jadi “Tasya
Tvam Asi” artinya ”Kamu adalah milik Dia”.
Bagaimana cara menganalisa pengertian ini, kita akan bahas sedikit berdasarkan
tata bahasa Sansekerta sebagai berikut: Di dalam bahasa Sansekerta, ada istilah
yang disebut dengan ”samasa” yaitu gabungan kata yang membentuk kalimat baru
dan arti yang sama. Ketika beberapa kata di dalam kalimat digabungkan, maka
masing-masing kata tersebut kembali ke suku kata dasarnya dan kata terakhir
mengambil bentuk sesuai dengan peranan di dalam kalimat, apakah sebagai subjek,
predikat atau objek. Di dalam kata “Tat Twam Asi”, kata ’tat-
tvam’ bisa dianggap sebagai suatu gabungan kata di dalam sebuah kalimat.
Kalimat ini berasal dari kalimat ”tasya tvam”, kemudian ketika digabungkan,
kata ”tasya” kembali ke kata dasarnya, yaitu ”tad”. Maka akan menjadi ”tad-tvam”. Kemudian
berdasarkan aturan sandi, hurup ”d” yang diikuti oleh huruf ”t” akan berubah
menjadi ”t”, maka kita menemukan kata ”tat tvam”. Untuk membentuk sebuah
kalimat, maka kata-kata yang digabungkan harus memiliki kata kerja. Dengan
demikian kata kerja ”as(a)” yang berarti ”adalah” ditambahkan di dalam kalimat
tersebut. Karena tvam (kamu) adalah orang kedua tunggal, maka kata kerja
”as(a)”, berdasarkan aturan tata bahasa Sansekerta akan berubah menjadi ”asi”.
Dengan demikian kita mendapatkan kata “Tat Twam Asi”, yang artinya
kamu adalah milik-Nya.
Kalimat ”Kamu adalah milik-Nya”, berarti semua makhluk hidup merupakan milik
kepribadian Ida Sang Hyang Widhi Wasa
karena Ida Sang Hyang Widhi Wasa
adalah sumber segala sesuatu, dan segala seuatu berada di bawah kendali Beliau.
Pernyataan ini juga ditemukan di dalam Bhagavad Gita sebagai berikut,
“aham sarvasya prabhavo
mattah sarvam pravartate
iti matva bhajante mam
budha bhava-samanvitah”
Artinya:
“Aku
adalah sumber dari segala sesuatu baik alam material maupun alam rohani. Segala
sesuatu berasal dari diriKu. Orang bijaksana yang mengetahui ini secara
sempurna menekuni pengabdian suci bhakti dan menyembahKu dengan sepenuh
hatinya”.
Dengan
demikian, ini merupakan tugas dari semua makhluk hidup, khususnya umat manusia
untuk mengabdikan diri kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa. Singkat kata, arti kedua yang bisa
diambil dari kata tat tvam asi adalah sebagai berikut, “kita semua sebagai
makhluk hidup merupakan milik Ida Sang
Hyang Widhi Wasa yang berkewajiban untuk menyembah
Beliau”. Pengertian yang lain
dari kalimat tat tvam asi adalah berhubungan dengan ”Jiva”, yang nantinya akan
menghubungkan kita dengan hukum karma phala. ”Kamu adalah dia” dan ”dia adalah
kamu” bisa juga diartikan bahwa kita, para jiva, yang merupakan percikan
terkecil dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
atau dengan kata lain sebagai ciptaan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
mempunyai sifat dan hak yang sama antara yang satu dengan yang lain. Karena
itu, ketika kita melakukan suatu karma atau aktivitas, itu akan selalu
berhubungan dengan makhluk lain.
2.2.
Konsep Tat Twam Asi dalam mewujudkan Kreta Jagadhita
Dalam Hindu untuk mewujudkan Kreta
Jagadhita atau menciptakan kesejahteraan dalam kehidupan perlu didasari atas
konsepsi “Tat Twam Asi” yang mengisyaratkan pentingnya solidaritas dalam
kehidupan bermasyarakat sehingga terbentuk kehidupan masyarakat yang sejahtera.
Dalam kitab Bhagawata Purana: 10.22.35 disebutkan sebagai berikut:
“Adalah kewajiban bagi setiap orang
untuk mendedikasikan (membaktikan) hidupnya, intelejensi (kepandaiannya),
kekayaannya, kata-katanya, dan pekerjaannya bagi kesejahteraan mahluk lain”
Agama Hindu mengajarkan adanya ajaran
toleransi umat beragama agar terciptanya kesejahteraan, seperti diterangkan
oleh I Ketut Wiana, Wakil Sekjen Parisada Hindu Dharma Indonesia bahwa
banyaknya agama yang diturunkan oleh Tuhan adalah suatu kebijaksaan Tuhan.
Jalan yang berbeda-beda itu memiliki satu tujuan yaitu jalan menuju Tuhan. Disamping
itu sebagai makhluk sosial umat Hindu tidak semata-semata rukun dengan sesama
manusia. Tetapi juga harus harmonis secara Vertical dan Horizontal. Secara
Vertikal (ke atas) dekat dengan Tuhan sebagai Raja Alam Semesta (Prajapati),
Horizontal (kebawah) menanamkan rasa kasih sayang pada semua makhluk secara
Horizontal mengembangkan kerukunan dengan sesama manusia.
Dalam ajaran Kitab suci Veda, agar
terciptanya kehidupan yang Kreta Jagadhita dijelaskan secara gamblang dalam
ajaran “Tat Twam Asi”. Ajaran “Tat Twam Asi” merupakan ajaran sosial tanpa
batas. Saya adalah kamu, dan sebaliknya kamu adalah saya, dan segala makhluk
adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan
menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri (Upadesa, 2002: 42).
Antara saya dan kamu sesungguhnya bersaudara. Hakekat atman yang menjadikan
hidup diantara saya dan kamu berasal dari satu sumber yaitu Tuhan. Atman yang
menghidupkan tubuh makhluk hidup merupakan percikan terkecil dari Tuhan. Kita
sama-sama makhluk ciptaaan Tuhan. Sesungguhnya filsafat “Tat Twam Asi” ini
mengandung makna yang sangat dalam. Tatwam asi mengajarkan agar kita senantiasa
mengasihi orang lain atau menyayangi makhluk lainnya. Bila diri kita sendiri
tidak merasa senang disakiti apa bedanya dengan orang lain. Maka dari itu
janganlah sekali-kali menyakiti hati orang lain. Dan sebaliknya bantulah orang
lain sedapat mungkin kamu membantunya, karena sebenarnya semua tindakan kita
juga untuk kita sendiri. Bila dihayati dan diamalkan dengnan baik, maka akan
tyerwujud suatu kerukunan. Dalam upanisad dikatakan: “Brahma atma aikhyam”,
yang artinya Brahman (Tuhan) dan atman sama.
2.3.
Implementasi konsep Tat Twam Asi dalam mewujudkan
Kreta Jagadhita
Sistem kekeluargaan dan kekerabatan adalah sebuah ciri yang
melekat pada seluruh kebudayaan di Indonesia. Tidak
terkecuali pada masyarakat Hindu di Bali. Sistem tersebut menjadi hukum adat bagi
terciptanya hubungan antara manusia dengan manusia. Hubungan antarmanusia dalam ajaran
Hindu di Bali tertuang dalam filosofi “Tat Twam Asi” sebagai dasar hukum. Secara harfiah
Tat artinya ia, Twam artinya kamu, dan Asi artinya adalah.
Secara keseluruhan berarti “ ia adalah kamu”. Saya adalah kamu dan
segala mahkluk adalah sama. Ini berarti menolong orang lain berarti menolong
diri sendiri. Dan menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri.
Prinsip dasar Tat Twam Asi ini dalam kehidupan adat Bali diberi pengertian ke dalam asas-asas sebagai berikut.
a.
Asas suka duka, artinya dalam suka dan
duka dirasakan bersama-sama.
b.
Asas paras paros, artinya orang
lain adalah bagian dari diri sendiri dan diri sendiri adalah bagian dari orang
lain.
c.
Asas salunglung sabayantaka,
artinya baik buru, mati
hidup ditanggung bersama.
d.
Asas saling asih, saling asah, saling
asuh, artinya saling menyayangi atau mencintai, saling memberi dan mengoreksi,
serta saling tolong menolong antar sesama hidup.
Masyarakat Hindu Bali biasanya menyediakan diri untuk
datang ke rumah atau ke tempat warga masyarakat yang lain yang mempunyai atau
mengadakan suatu kegiatan misalnya upacara, membangun rumah, selamatan dan lain-lain. Aktifitas ini
merupakan pengejawantahan dari asas “Tat
Twam Asi”, yang lebih dikenal dengan nama Metelulung.
Selain itu, ada juga adat mejotan, yaitu memberi
sejenis kue atau makanan atau buah-buahan kepada tetangga atau sahabat-sahabat lainnya ketika
seseorang mengadakan suatu upacara atau selesai mengadakan selamatan tertentu. Dalam
menjaga hubungan baik antara manusia dengan manusia, rasa hormat memanglah
sangat penting untuk diperhatikan. Bagaimana anak muda menghormati yang tua,
dan yang tua menghargai yang muda. Penghormatan dalam masyarakat Bali tidak
didasarkan atas ekonomi atau kekayaan.
Dalam masyarakat Bali, ada tiga kelompok yang dituakan,
disebut Tri Kang Sinanggeh Werda (mahuta), di antaranya sebagai berikut.
a.
Wahya Werda,
mereka yang disebut tua karena usianya.
b.
Jnana
Werda, mereka yang disebut tua karena ketinggian ilmu
pengetahuannya, baik ilmu pengetahuan
keduniawian maupun kerohanian.
c.
Tepo Werda,
mereka yang disebut tua karena telah banyak menimba pengalan hidup.
Ketiga kelompok ini dalam masyarakat adat Bali selalu mendapatkan penghormatan yang sesuai
dengan kekuatan yang dimiliki dan selalu diperhitungkan dalam setiap acara atau
kegiatan sesuai dengan proporsinya masing-masing. Masyarakat Hindu di Bali
meyakini bahwa menjaga hubungan antar sesama manusia merupakan wujud kepercayaan agama hindu dan sebagai jalan untuk mewujudkan keselamatan dan
kedamaian. Semua ini tidak lain agar terciptanya kehidupan yang Kreta Jagadhita.
Sebagai
ilustrasi penerapan ajaran “Tat Twam Asi” yang lain dalam kehidupan sehari-hari
dicontohkan sebagai berikut:
Bila
kita menunjuk orang lain dengan menggunakan jari tangan, ternyata spontanitas
hanya 2 (dua) jari saja menunjuk orang lain, selebihnya 3 (tiga) jari lainnya
menunjuk pada diri kita sendiri. Kesimpulannya perbandingan prosentase menunjuk
orang lain dan menunjuk diri sendiri (40:60 %), lebih besar presentase yang
ditujukan kepada diri sendiri. Berarti bila kita mengatakan orang lain jahat,
sesungguhnya diri kita sendiri jauh lebih jahat dari orang lain yang kita tuduh
berbuat kejahatan. Demikian juga sebaliknya, bila mengatakan baik kepada orang
lain tentu diri kita lebih baik dari mereka. Lebih parah lagi bila menunjuk
dalam keadaan kesal, dongkol, dan emosional tinggi tentu akan menunjuk orang
lain dengan tangan dikepal, maka sepenuhnya (100%) jari tangan menunjuk atau mengalamatkan
apa yang diucapkan itu tertuju pada diri kita sendiri. Pandangan ini
mengkristal dalam upaya membina terwujudnya kerukunan hidup beragama, kehidupan
yang sejahtera (Kreta Jagadhita) yang berlandaskan pada prinsip kebenaran
ajaran “Tat Ttwam Asi. Oleh karena itu, tidak alasan untuk menjelek-jelekkan
atau menyakiti orang lain. Maka dari itu berbuat baiklah kepada orang lain atau
agama lain, bahkan kepada semua makhluk hidup lainnya di muka bumi ini, tanpa
terkecuali.

Ajaran tattwam
asi mengajak setiap orang penganut agama untuk turut merasakan apa yang sedang
dirasakan orang lain. Seseorang bila menyakiti orang lain sebenarnya ia telah
bertindak menyakiti aatau menyiksa dirinya sendiri, dan sebaliknya bila telah
membuat orang lain menjadi senang dan bahagia, maka sesungguhnya dirinya
sendirilah yang ikut merasakan kebahagiaan itu juga.
Tattwam asi merupakan kata kunci untuk dapat membina
agar terjalinnya hubungan yang serasi atas dasar “asah, asih, dan asuh” di
antara sesama hidup. Dalam Sarasamuscaya:
317, menyatakan:
“Orang arif bijaksana melihat semuanya sama,
baik kepada brahmana budiman yang rendah hati, maupun terhadap makhluk hidup
lainnya, orang yang hina papa sekalipun, walaupun perbuatan jahat yang
dilakukan orang terhadap dirimu, perbuatan seperti orang sadhu hendaknya
sebagai balasanmu. Janganlah sekali-kali membalas dengan perbuatan jahat, sebab
oprang yang berhasrat berbuat kejahatan itu pada hakekatnya akan menghancurkan
dirinya sendiri”
Dalam
upaya mewujudkan kehidupan yang
Kreta Jagadhita atau kehidupan yang sejahtera dan rukun, selain konsep “Tat
Twam Asi” diterapkan sehari-hari antar sesama, juga perlu diterapkan dalam
kehidupan intern umat beragama. Agar kerukunan ini tercapai, perlu
diterapkannya konsep “Tat Twam Asi”. Seperti halnya dapat
ditempuh dengan beberapa pendekatan secara manusiawi (tanpa kekerasan) melalui
jalan musyawarah intern umat beragama, musyawarah antar umat beragama melalui
wadah yang sudah cukup gencar mengadakan dialog dan juga pertemuan atau musyawarah antara umat
beragama dengan pemerintah. Melalui cara-cara seperti itu diharapkan semakain
sering diadakan temu muka antara tokoh-tokoh agama, berkomunikasi langsung
saling mengenal satu sama lainnya, duduk berdampingan satu sama lainnya
membahas masalah kerukunan. Sehingga semakin dapat menghilangkan prasangka
buruk sebagai bentuk kesalah pahaman diantara sesama penganut umat beragama.
Semua ini dapat terwujud hanya melalui terbinanya kesadaran akan hidup bersama
secara berdampingan, kesadaran
saling membutuhkan, saling melengkapi satu sama lainnya, niscaya kerukunan
hidup beragama dapat terwujud.
Kerukunan
hidup beragama menjadi dambaan kita semua, sebab bila hal ini terwujud, maka
kita akan dapat merasakan satu kedamaian. Kerukunan perlu dipupuk, dan
dikembangkan dalam rangka menumbuhkan rasa kesadaran umat beragama, sehingga
terwujudnya rasa persatuan dan
kesatuan bangsa sesuai bunyi slogan lambang negara kita “Bhineka Tunggal ika”
yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Ungkapan ini cocok dengan
kondisi negara republik Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam agama,
kebudayaan, adat istiadat, etnis dan lain sebagainya, namun pada hakekatnya
kita semua adalah satu, yaitu satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air,
sebagaimana telah diikrarkan dalam sumpah pemuda.
Bila
dihayati, keadaan yang beraneka ragam agama akan mewujudkan suatu keindahan.
Berbhineka dalam keesaan (berbeda dalam kesatuan/unity in diversity). Seperti
halnya saebuah taman bunga yang tumbuh di sekeliling taman membuat taman
menjadi indah. Kita sebagai komponen bangsa Indonesia harus menyadarai kondisi
yang demikian. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa keberhasilan dalam
mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia berkat tergalangnya rasa persatuan dan
kesatuan bangsa, sehingga kita mampu mewujudkan kemerdekaan.
Selain
implementasi di atas, contoh yang lain adalah ketika kita melakukan kegiatan yang
saleh terhadap orang lain, seperti memberi sedekah. Karena dia adalah kamu dan
kamu adalah dia, dengan demikian, sekarang dia (salah satu roh) menerima
sedekah dari kamu (yang juga merupakan sang roh), maka suatu hari dia mesti dan
pasti akan memberi sedekah kepadamu. Itu merupakan hukum alam. Sama halnya
sekarang kamu membunuh dia di dalam bentuk seekor binatang, karena sang roh
diuraikan berpindah dari badan yang satu ke badan yang lain setelah meninggal
di dalam proses reinkarnasi, ”dehino smin yatha dehe kaumaram yauvanam jara” ,
maka suatu hari nanti waktu akan mengatur dimana dia akan mendapat badan
manusia dan kamu mendapat badan binatang. Saat itu, giliran dia yang akan
membunuh kamu. Ini merupakan suatu keadilan Tuhan di dalam bentuk hukum alam.
Dengan demikian, ajaran tat tvam asi juga bisa diambil dari segi sosial seperti
contoh diatas. Karena dia adalah kamu dan kamu adalah dia, maka kita harus
berusaha memperlakukan setiap jiva dengan baik seperti kita memperlakukan diri
kita sendiri. Kalimat “Tat
Twam Asi” dalam arti ini sangat
berhubungan erat dengan istilah Tri Hita Karana, yaitu bagaimana seharusnya
kita, sebagai makhluk sosial, berhubungan dengan lingkungan di sekitar kita
yaitu alam beserta isinya dan menyadari bahwa semuanya adalah ciptaan Tuhan.
Karena itu kita semestinya memelihara ciptaan Tuhan seperti kita memelihara
diri kita sendiri. Dengan
demikian kesejahteraan semua umat akan tercapai dengan diterapkannya konsep
“Tat Twam Asi” ini.

Dalam kehidupan,
apabila konsep “Tat Twam Asi” tidak diterapkan, kesejahteraan tidak akan pernah
tercapai, karena egoisme yang tinggi akan mempengaruhi setiap individu. Adapun
contoh konsep “Tat Twam Asi” tidak diterapkan, yaitu adanya konflik antar desa
atau antar banjar menjadi bukti nyata. Ketika “Tat Twam Asi” tidak bisa
dijadikan acuan, konflik akan makin melebar. Dampaknya akan ada kasepekangi
(pengucilan). Kalau sudah kasepekang, sembahyang ke pura pun tidak boleh,
apalagi mau ngaben. Suatu saat nanti sepertinya perlu kuburan umum, desa umum
dan pedanda umum bagi mereka yang kena kasepekang. Dari contoh ini dapat kita
lihat, apabila ajaran “Tat Twam Asi” tidak bisa kita terapkan tentunya hanya
akan berdampak buruk bagi kehidupan bermasyarakat, Kreta Jagadhita akan semakin
menjauh dari kehidupan kita, karena semua orang hanya akan menjalankan
kehendaknya sendiri, orang Bali menyebutnya
“nganggoang
kite”. Dan sebaliknya apabila konsep ini diterapkan, tentunya tidak akan
ada istilah mustahil
kesejahteraan akan
segera terwujud.